Senin, 16 November 2009

Iga Kambing Panggang


Bahan:

Iga kambing 400 gram, bersihkan
Nanas 1/4 buah, parut
Kecap manis 25 ml
Margarin 100 gram

Bumbu Halus:

Bawang putih 4 siung
Bawang merah 3 butir
Cabai merah 2 buah
Garam secukupnya
Gula pasir 1/2 sdt
Ketumbar 1/2 sdt, sangrai
Merica 1/2 sdt, sangrai

Pelengkap:

Sambal kecap
Nasi putih
Mentimun
Kol
Tomat
Selada kering

Cara Membuat:

1. Campur iga kambing, bumbu halus, nanas serut dan kecap. Aduk rata. Diamkan campuran iga selama 35 menit agar bumbu meresap.
2. Panggang iga diatas panggangan sambil diolesi dengan margarin dan sisa bumbu hingga matang dan kecoklatan. Angkat. (Agar matangnya rata, saat memanggang iga harus sering dibalik)
3. Sajikan iga panggang bersama pelengkapnya.

Untuk 2 porsi

Gecok Kambing


Bahan:

Daging kambing 450 gram, potong dadu 3 cm
Santan 600 ml dari 1/2 butir kelapa
Kelapa parut setengah tua 75 gram, sangrai, haluskan
Air 1 liter
Daun jeruk 2 lembar, iris tipis
Bawang goreng secukupnya
Air jeruk nipis 2 sdm

Bumbu:

Belimbing sayur 2 buah, iris tipis
Bawang merah 5 butir, sangrai, iris tipis
Kemiri 4 butir, sangrai, haluskan
Lengkuas 3 cm, memarkan
Merica bubuk 1/2 sdt
Garam secukupnya

Cara Membuat:

1. Didihkan air, masukkan daging kambing. Masak hingga daging lunak. Angkat dan tiriskan.
2. Panaskan santan, masukkan daging kambing. Masak hingga mendidih sambil diaduk.
3. Tambahkan kelapa parut yang sudah dihaluskan, belimbing sayur, bawang merah, kemiri, merica bubuk, lengkuas dan garam. Masak hingga matang dan kuah mengental sambil diaduk. Angkat.
4. Tuang gecok kambing dalam mangkuk saji, taburi diatasnya dengan daun jeruk, bawang goreng dan air jeruk nipis. Sajikan.

Untuk 3 porsi

Nasi Goreng Kambing


Bahan:

Nasi putih 400 gram
Daging kambing muda 200 gram, potong dadu
Minyak goreng 2 sdm
Minyak samin 1 sdt
Daun bawang 3 batang, potong kasar
Kubis 2 lembar potong kasar
Tomat 1 buah, potong kasar

Bumbu Halus:

3 siung bawang putih
5 butir bawang merah
3 buah cabai rawit
1/2 sdt merica bubuk
2 sdm kecap manis
Garam secukupnya
Gula pasir secukupnya

Pelengkap:

Bawang merah goreng secukupnya
Acar mentah (mentimun, nanas, cabai rawit)
Kerupuk udang

Cara membuat:

1. Panaskan minyak goreng, tumis bumbu halus hingga halus.
2. Masukkan daging kambing, minyak samin dan kol. Aduk rata. Tutup penggorengan, masak hingga daging lunak.
3. Tambahkan bahan yang lain, masak hingga bumbu meresap sambil diaduk. Angkat.
4. Sajikan hangat dengan pelengkap.

Untuk 2 porsi

Sambal Goreng Hati Kambing


Bahan:

Hati kambing 250 gram, rebus hingga matang, potong dadu 1 cm
Kentang 150 gram, potong dadu 1 cm
Petai 10 butir, iris 2 bagian
Gula merah serut 1 sdm
Daun salam 1 lembar
Serai 1 batang, memarkan
Lengkuas 2 cm, memarkan
Santan cair 150 ml
Cabai merah 4 buah, buang bijinya, iris tipis, goreng
Bawang merah goreng, secukupnya
Minyak goreng 500 ml

Bumbu Halus:

3 butir bawang merah
2 siung bawang putih
7 buah cabai merah
1/2 sdt ketumbar, sangrai
1/2 sdt merica
1/2 sdt gula pasir
Garam secukupnya

Cara Membuat:

1. Panaskan minyak, goreng kentang hingga matang dan berwarna kuning kecoklatan. Angkat dan tiriskan.
2. Panaskan 2 sdm minyak, tumis bumbu halus, lengkuas, daun salam dan serai hingga harum.
3. Tambahkan gula merah, aduk rata. Masukkan hati kambing, petai dan kentang. Aduk rata.
4. Tuang santan, masak hingga bumbu meresap dan santan menyusut.
5. Tambahkan cabai merah goreng, aduk rata. Angkat.
6. Masukkan sambal goreng hati kambing dalam piring saji. Taburi atasnya dengan bawang goreng.
7. Sajikan.

Untuk 4 porsi

Jumat, 06 November 2009

Ayam Bakar Rica


Bahan:

1 ekor ayam
6 buah cabe merah
6 siung bawang putih
2 potong jahe
5 sendok makan minyak sayur
1 ons buah tomat, air jetuk nipis, penyedap dan garam secukupnya

Cara Memasak:

Bersihkan ayam
Tumbuk halus semua bumbu kecuali jahe, tumis hingga kuning baru masukan jahenya dan bubuhi penyedap
Adonan bumbu lumurkan rata ada ayam, bubuhi minyak sayur dan air jeruk nipis
panggang sampai matang ( lebih harum dengan arang ), angkat dan siap hidangkan

Wahhhh....harumnya bikin laparrrrrrr.......

Hasan Al Banna


Hasan Al Banna dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan al Banna sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah, Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur'an. Sang ayah terus menerus memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya. Semenjak itu Hasan kecil mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat. Siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Waktu sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan Al-Qur'an ia lakukan selesai shalat Shubuh.

Maka tak mengherankan apabila Hasan al Banna mencetak berbagai prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun Hasan al Banna telah menghafal seluruh Al-Quran. Hasan Al Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik di sekolahnya dan nomor lima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum.

Demikianlah sederet prestasi Hasan kecil. Selain prestasinya di bidang akademik, Ia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Bahkan pada waktu masih berada di jenjang pendidikan i'dadiyah (semacam SMP), beliau telah mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, kisahnya begini:

Suatu siang, usai belajar di sekolah, sejumlah besar siswa berjalan melewati mushalla kampung. Hasan berada di antara mereka. Tatkala mereka berada di samping mushalla, maka adzan pun berkumandang. Saat itu, murid-murid segera menyerbu kolam air tempat berwudhu. Namun tiba-tiba saja datang sang imam dan mengusir murid-murid madrasah yang dianggap masih kanak-kanak itu. Rupanya, ia khawatir kalau-kalau mereka menghabiskan jatah air wudhu. Sebagian besar murid-murid itu berlarian menyingkir karena bentakan sang imam, sementara sebagian kecil bertahan di tempatnya. Mengalami peristiwa tersebut, al Banna lalu mengambil secarik kertas dan menulis uraian kalimat yang ditutup dengan satu ayat Al Qur'an, "Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya."(Q. S. Al-An'aam: 52).

Kertas itu dengan penuh hormat ia berikan kepada Syaikh Muhammad Sa'id, imam mushalla yang menghardik kawan-kawannya. Membaca surat Hasan al Banna hati sang imam tersentuh, hingga pada hari selanjutnya sikapnya berubah terhadap "rombongan anak-anak kecil" tersebut. Sementara para murid pun sepakat untuk mengisi kembali kolam tempat wudhu setiap mereka selesai shalat di mushalla. Bahkan para murid itu berinisiatif untuk mengumpulkan dana untuk membeli tikar mushalla!

Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul 'Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma'iliyah. Hasan Al Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki), sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara. Demikianlah keadaan dunia Islam ketika al Banna berusia muda. Satu di antara penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap ajaran Islam.

Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya "Al-Ikhwanul Muslimun," bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dll. Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani, usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 45-an), beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan sukarela Ikhwan.

Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh Allah.

Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. (catatan : M. Natsir di kemudian hari menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan).

Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha memadamkannya.

Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS Ash-Shaff : 8)

Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa. Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka. Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.

Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi Dzilaalil Qur'an (di bawah lindungan Al-Qur'an) karya Sayyid Quthb. Sebuah kitab tafsir Al-Qur'an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu'an dan Terjemahannya keluaran Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya Hamka. Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui prinsip dan keyakinan beliau. Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh dalam dakwahnya.

Saya meyakini: "Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur’an itu Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur kehidupan dunia akhirat."
Saya berjanji: "Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan para sahabat yang mulia."

Saya meyakini: "Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari sendi Islam."
Saya berjanji: "Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya. Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini."

Saya meyakini: "Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah, di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.
Saya berjanji: "Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam kemewahan yang diatas kemampuan saya."

Saya meyakini: "Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya, diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka."
Saya berjanji: "Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa, buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam."

Saya meyakini: "Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam."
Saya berjanji: "Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi terlaksananya misi (risalah) tersebut."

Saya meyakini: "Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia."
Saya berjanji: "Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka."

Saya meyakini: "Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena jauhnya mereka dari "dien" (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu."

KlapperTart


Bahan:

500 cc fresh milk125 gr gula pasir
25 gr tepung terigu
25 gr tepung custard
25 gr maizena
75 gr mentega
3 btr kuning telur
1 btr kelapa muda --> bisa pake 1 kaleng coconut young coconut meat in syrup, airnya dibuang
50 gr kenari panggang cincangkayu manis bubuk

Topping:

3 btr putih telur
4 sdm gula pasir
1 sdm tepung terigukismis direndam air hangat, peras dan ciprati rhumkayu manis bubukKenari panggang cincang secukupnya

Cara Membuat:

Panaskan 400 cc fresh milk dan gula pasir Larutkan tepung terigu, custard dan maizena dengan 100 cc fresh milk .
Masukkan campuran susu dan tepung kedalam susu panas, aduk terus sampai mengental dan meletup-letup.
Angkat dari api, masukkan mentega, aduk rata.
Masukkan kenari dan kayu manis bubuk dan rhum essence/pasta Masukkan kuning telur satu persatu Masukkan daging kelapa muda, aduk rata.
Masukkan adonan kedalam cup atau pinggan tahan panas sampai ¾ tinggi.
Bakar dengan cara ditim selama 15 menit dengan suhu 160° sampai ½ matang.
Kocok putih telur dengan mixer sambil dimasukkan gula sedikit sedikit sampai kaku.
Masukkan tepung terigu, aduk rata dengan spatula.
Semprotkan toping keatas adonan ½ matang sampai cukup tinggi, taburi dengan kismis, kenari dan kayu manis bubuk.
Bakar lagi sampai toping berwarna kekuningan.

Selamat mencoba...!

Coto Makassar


Bagi yang belum pernah merasakan nikmatnya coto, dan pingin mencoba.. silahkan coba resep coto makassar berikut ini :

Bahan:
500 gram daging sapi
500 gram babat, rebus matang
300 gram hati sapi, rebus matang
200 gram jantung sapi, rebus matang
5 batang serai memarkan
4 sm lengkuas memarkan
2 cm jahe memarkan
5 lembar daun salam
250 gram kacang tanah, goreng haluskan
2,5 liter air cuci beras/tajin
1 sdm bumbu kaldu bubuk rasa sapi
6 sdm minyak sayur

Haluskan:

10 siung bawang putih
8 butir kemiri sangrai
1 sdm ketumbar sangrai
1 sdt jintan sangrai
1 sdt garam dan 1 sdt merica butiran

Pelengkap: bawang goreng, irisan daun bawang dan irisan seledri, sambal taoco

Haluskan: 10 bawang merah, 5 siung bawang putih, 10 cabai keriting rebus sebentar, 100 gram taoco, tumis dengan 6 sdm minyak sayur hingga matang, haluskan tambahkan garam dan gula merah.

Cara Membuat:

1. Rebus daging sapi, babat, hati dan jantung, beri serai, lengkuas, jahe dan salam setelah matang angkat, tiriskan, potong dadu. Jerohan sapi matang, potong dadu. Sisihkan.

2. Panaskan minyak, tumis bumbu yang dihaluskan hingga harum, masukkan kedalam kaldu, tambahkan kacang tanah goreng, didihkan.

3. Penyajian, siapkan mangkuk, isi dengan daging dan jerohan beri kuahnya, taburi bawang goreng, irisan daun bawang dan seledri sajikan dengan buras atau ketupat dan sambal taoco.

4. Sajikan hangat.

Untuk : 6 orang
Selamat menikmati..!

Ketika Mas Gagah Pergi


Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku. Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?

“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

–=oOo=–

“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.

Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya !” kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?

“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu kata Mas Gagah.

Oalaa !

–=oOo=–

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam.

Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.

“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?’
“Lain gimana, Ma ?”
“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.

Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.
Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?

“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”
Si Mas tersenyum.

“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun…, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

–=oOo=–

“Mau kemana, Git!?”
“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

“Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh!!

–=oOo=–

“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita…, meski kita kini punya pandangan yang berbeda,” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!”
“Hidayah ?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!”

–=oOo=–

“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !” tegurku ramah.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !”
“Buku apa ?”
“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas..buku apa sih?” desakku.
“Eit.., Eiiit !” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab..,” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!

“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit…”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!

–=oOo=–

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak bisa, Pa, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.

–=oOo=–

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku !”

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.

“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri,” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.

–=oOo=–

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

–=oOo=–

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!” Telpon berdering.

Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah.., kecelakaan.., Rumah Sakit..Islam…,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

–=oOo=–

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.

“Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar, Sayang.., sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas.., Mas Gagah.., Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas… Gagah..,” bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah.., Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah.., umat juga.”
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi..”
“Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir.., Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang..

“Gi..ta..”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas..”
Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita.. udah pakai.. jilbab..,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas..,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak.., Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa..ilaaha..illa..llah…, Muham..mad..Ra..sul..Al..lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.

Selamat jalan, Mas Gagah !

–=oOo=–

(Epilog)

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini…

Setitik air mataku jatuh lagi.

“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!”
“Ganteng kan?”

“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong ! Jihad itu… “

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah!

HTR, Depok, 1993 (Karya Herlvi Tiana Rosa)

Kamis, 05 November 2009

Lolos Dari Maut

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara. Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam 'penjara kecuali mencari jalan keluar. Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas membuka pembicaraan. "Apa itu?" kata pengawal itu tanpa gairah. "Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja."

Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun." Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas.

Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka ? Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya. Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: "Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?" Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya.

Dengan bijaksana Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di la-dang tanpa harus menggali, wahai istriku." Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan. Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan orang. Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat. Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.

Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa mem-bahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan. Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"

"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum. "Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget. "Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan. Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasan tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain. Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.

Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti. Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang.

Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Allah Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya.

Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya. Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas.

Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. "Adakah permintaan yang terakhir" "Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat. "Sebutkan." kata Baginda. "Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas. "Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas.. "Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon. "Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa. "Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring. "Hamba minta dihukum pancung!" Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu.

Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya. Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. "Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?" Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini. "Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?" "Oh, gampang sekali Tuanku." "Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda. "Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai." "Kau ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?" "Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?" "Ha ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!" "Siap Baginda !"

Orang-Orang Kanibal

Saat itu Abu Nawas baru saja pulang dari istana setelah dipanggil Baginda. la tidak langsung pulang ke rumah melainkan berjalan-jalan lebih dahulu ke perkampungan orang-orang badui. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Abu Nawas yang suka mempelajari adat istiadat orang-orang badui. Pada suatu perkampungan, Abu Nawas sempat melihat sebuah rumah besar yang dari luar terdengar suara hingar bingar seperti suara kerumunan puluhan orang. Abu Nawas tertarik ingin melihat untuk apa orang-orang badui berkumpul di sana, ternyata di rumah besar itu adalah tempat orang badui menjual bubur haris yaitu bubur khas makanan para petani.

Tapi Abu Nawas tidak segera masuk ke rumah besar itu, merasa lelah dan ingin beristirahat maka ia terus berjalan ke arah pinggiran desa. Abu Nawas beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. la merasa hawa di situ amat sejuk dan segar sehingga tidak berapa lama kemudian mengantuk dan tertidur di bawah pohon. Abu Nawas tak tahu berapa lama ia tertidur, tahu-tahu ia merasa dilempar ke atas lantai tanah. Brak! lapun tergagap bangun. "Kurang ajar! Siapa yang melemparku?" tanyanya heran sembari menengok kanan kiri.

Ternyata ia berada di sebuah ruangan pengap berjeruji besi. Seperti penjara. "Hai keluarkan aku! Kenapa aku dipenjara di sini.!" Tidak berapa lama kemudian muncul seorang badui bertubuh besar. Abu Nawas memperhatikan dengan seksama, ia ingat orang inilah yang menjual bubur haris di rumah besar di tengah desa. "Jangan teriak-teriak, cepat makan ini !" kata orang sembari menyodorkan piring ke lubang ruangan. Abu Nawas tidak segera makan. "Mengapa aku dipenjara?" "Kau akan kami sembelih dan akan kami jadikan campuran bubur haris." "Hah? Jadi yang kau jual di tengah desa itu bubur manusia?" "Tepat.... itulah makanan favorit kesukaan kami." "Kami...? Jadi kalian sekampung suka makan daging manusia?" "lya, termasuk dagingmu, sebab besok pagi kau akan kami sembelih!" "Sejak kapan kalian makan daging manusia?" "Oh.., sejak lama .... setidaknya sebulan sekali kami makan daging manusia." "Dari mana saja kalian dapatkan daging manusia?" "Kami tidak mencari ke mana-mana, hanya setiap kali ada orang masuk atau lewat di desa kami pasti kami tangkap dan akhirnya kami sembelih untuk dijadikan bubur."

Abu Nawas diam sejenak. la berpikir keras bagaimana caranya bisa meloloskan diri dari bahaya maut ini. la merasa heran, kenapa Baginda tidak mengetahui bahwa di wilayah kekuasaannya ada kanibalisme, ada manasia makan manusia. "Barangkali para menteri hanya melaporkan hal yang baik-baik saja. Mereka tidak mau bekerja keras untuk memeriksa keadaan penduduk." pikir Abu Nawas. "Baginda harus mengetahui hal seperti ini secara langsung, kalau perlu....!" Setelah memberi makan berupa bubur badui itu meninggalkan Abu Nawas. Abu Nawas tentu saja tak berani makan bubur itu jangan-jangan bubur manusia. la menahan lapar semalaman tak tidur, tubuhnya yang kurus makin nampak kurus.

Esok harinya badui itu datang lagi. "Bersiaplah sebentar lagi kau akan mati." Abu Nawas berkata,"Tubuhku ini kurus, kalaupun kau sembelih kau tidak akan memperoleh daging yang banyak. Kalau kau setuju nanti sore akan kubawakan temanku yang bertubuh gemuk. Dagingnya bisa kalian makan selama lima hari." "Benarkah?" "Aku tidak pernah bohong!" Orang badui itu diam sejenak, ia menatap tajam kearah Abu Nawas. Entah kenapa akhirnya orang badui itu mempercayai dan melepaskan Abu Nawas.

Abu Nawas langsung pergi ke istana menghadap Baginda. Setelah berbasa-basi maka Baginda bertanya kepada Abu Nawas. "Ada apa Abu Nawas? Kau datang tanpa kupanggil?" "Ampun Tuanku, hamba baru saja pulang dari suatu desa yang aneh." "Desa aneh, apa keanehannya?" "Di desa tersebut ada orang menjual bubur haris yang khas dan sangat lezat. Di samping itu hawa di desa itu benar-benar sejuk dan segar." "Aku ingin berkunjung ke desa itu. Pengawal! Siapkan pasukan!" "Ampun Tuanku, jangan membawa-bawa pengawal. Tuanku harus menyamar jadi orang biasa." "Tapi ini demi keselamatanku sebagai seorang raja" "Ampun Tuanku, jika bawa-bawa tentara maka orang sedesa akan ketakukan dan Tuanku takkan dapat melihat orang menjual bubur khas itu." "Baiklah, kapan kita berangkat?" "Sekarang juga Tuanku, supaya nanti sore kita sudah datang di perkampungan itu." Demikianlah, Baginda dengan menyamar sebagai sorang biasa mengikuti Abu Nawas ke perkampungan orang-orang badui kanibal.

Abu Nawas mengajak Baginda masuk ke rumah besar tempat orang-orang makan bubur. Di sana mereka membeli bubur. Baginda memakan bubur itu dengan lahapnya. "Betul katamu, bubur ini memang lezat!" kata Baginda setelah makan."Kenapa buburmu tidak kau makan Abu Nawas." "Hamba masih kenyang," kata Abu Nawas sambil melirik dan berkedip ke arah penjual bubur. Setelah makan, Baginda diajak ke tempat pohon rindang yang hawanya sejuk. "Betul juga katamu, di sini hawanya memang sejuk dan segar ..... ahhhhh ........ aku kok mengantuk sekali."kata Baginda. "Tunggu Tuanku, jangan tidur dulu....hamba pamit mau buang air kecil di semar belukar sana." "Baik, pergilah Abu Nawas!" Baru saja Abu Nawas melangkah pergi, Baginda sudah tertidur, tapi ia segera terbangun lagi ketika mendengar suara bentakan keras. "Hai orang gendut! Cepat bangun ! Atau kau kami sembelih di tempat ini!" ternyata badui penjual bubur sudah berada di belakang Baginda dan menghunus pedang di arahkan ke leher Baginda. "Apa-apaan ini!" protes Baginda. "Jangan banyak cakap! Cepat jalan !" Baginda mengikuti perintah orang badui itu dan akhirnya dimasukkan kepenjara. "Mengapa aku di penjara?" "Besok kau akan kami sembelih, dagingmu kami campur dengan tepung dan jadilah bubur haris yang terkenal lezat. Hahahahaha !" "Astaga jadi yang kumakan tadi...?" "Betul kau telah memakan bubur kami, bubur manusia." "Hoekkkkk....!" Baginda mau muntah tapi tak bisa.

"Sekarang tidurlah, berdoalah, sebab besok kau akan mati." "Tunggu...." "Mau apa lagi?" "Berapa penghasilanmu sehari dari menjual bubur itu?" "Lima puluh dirham!" "Cuma segitu?" "lya!" "Aku bisa memberimu lima ratus dirham hanya dengan menjual topi." "Ah, masak?" "Sekarang berikan aku bahan kain untuk membuat topi. Besok pagi boleh kau coba menjual topi buatanku itu ke pasar. Hasilya boleh kau miliki semua !" Badui itu ragu, ia berbalik melangkah pergi. Tak lama kemudian kembali lagi dengan bahan-bahan untuk membuat topi. Esok paginya Baginda menyerahkan sebuah topi yang bagus kepada si badui. Baginda berpesan,"Juallah topi ini kepada menteri Farhan di istana Bagdad." Badui itu menuruti saran Baginda.

Menteri Farhan terkejut saat melihat seorang badui datang menemuinya. "Mau apa kau?" tanya Farhan. "Menjual topi ini..." Farhan melirik, topi itu memang bagus. la mencoba memeriksanya dan alangkah terkejutnya ketika melihat hiasan berupa huruf-huruf yang maknanya adalah surat dari Baginda yang ditujukan kepada dirinya. "Berapa harga topi ini?" "Lima ratus dirham tak boleh kurang!" "Baik aku beli !" Badui itu langsunng pulang dengan wajah ceria. Sama sekali ia tak tahu jika Farhan telah mengutus seorang prajurit untuk mengikuti langkahnya. Siangnya prajurit itu datang lagi ke istana dengan melaporkan lokasi perkampungan si penjual bubur. Farhan cepat bertidak sesuai pesan di surat Baginda. Seribu orang tentara bersenjata lengkap dibawa ke perkampungan. Semua orang badui di kampung itu ditangkapi sementara Baginda berhasil diselamatkan. "Untung kau bertindak cepat, terlambat sedikit saja aku sudah jadi bubur!" kata Baginda kepada Farhan. "Semua ini gara-gara Abu Nawas!" kata Farhan. "Benar! Tapi juga salahmu! Kau tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa penghuninya adalah orang-orang kanibal!" "Bagaimanapun Abu Nawas harus dihukum!" "Ya, itu pasti!" "Hukuman mati!" sahut Farhan. "Hukuman mati? Ya, kita coba apakah dia bisa meloloskan diri?" sahut Baginda.

Rabu, 04 November 2009

Sunan Kali Jaga / Raden Said

Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.

Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.

“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”

Adipati Wilatikta menatap tajam ke arah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ... saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”

“Tapi ... mengapa harus rakyat yang jadi korban” sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hidup tak pernah dilakukannya.

Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.

Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.

Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula, posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.

Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Khawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.

“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini. Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”

Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.

Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga. Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! Pergi ! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”

Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih, luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.

Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.

Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.

Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.

MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?

Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.

“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.

Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata,"Anak muda ... Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”

"Tapi ... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini." Sahut Raden Said.

Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,"Anak muda ... Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”

“Tetapi ... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said.

Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,"Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”

Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karenanya tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, "Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan."

"Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. "Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”

“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.

“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu. Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.

“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”

“Saya mengintai harta ?”

“Untuk apa ?”

“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”

"Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ... caramu mendapatkannya yang keliru."

"Orang tua ... apa maksudmu ?"

"Boleh aku bertanya anak muda ?"

"Silahkan ..."

"Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?"

"Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja."

Lelaki itu tersenyum,"Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing." Raden Said tercekat.

Lelaki itu melanjutkan ucapannya,"Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal." Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam tubuh dan hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.

"Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !"

Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !"

Setelah berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir. Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.

Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.

"Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan berguru kepadanya," demikian pikir Raden Said.

Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.

"Tunggu ... “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.

"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid ...“ Pintanya.

"Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”

"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ...“

"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”

"Saya bersedia ... “

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.

Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.

Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan. Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.

Demikian tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.

KERINDUAN SEORANG IBU

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.

Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu. Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.

JASA SUNAN KALIJAGA

Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untuk lebih detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.

Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga. Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.

A. SEBAGAI MUBALIGH
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.

Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.

Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidak langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.

Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gending, tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.

B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-lain.

a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.

b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.

c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional. Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.

d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.

e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau pengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.

f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna : di sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.

g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut: Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia. Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang. Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.

h. Sebagai Dalang :
Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar. Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat. Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.

i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama. Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota. Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri dari :

1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.

Alun-alun : berasal dari kata "Allaun" artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali "Allaun-allaun" yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusat kota.

Waringin : dari kata "Waraa’in" artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat, haqiqat, tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam. Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.

Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapa kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.