Senin, 02 November 2009

Pengorbanan Yang Menentukan Kemenangan

Pengorbanan menentukan kemenangan. Itulah sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan manusia. Itulah makna pengorbanan. Karenanya, ciri utama dari sebuah usaha yang dimulai dengan pengorbanan adalah pertumbuhan yang tiada putus dan tidak berhenti. Sebesar apa pengorbanan yang kita berikan untuk ideologi yang kita yakini, sebesar itu pula pertumbuhan akan berkelanjutan.

100 ribu orang yang masuk Islam di zaman Rasulullah saw pada saat Haji Wada, sebagian besar adalah orang awam. Bahkan ada yang tak tahu di mana letaknya tempat pipis, sampai ada diantara mereka yang buang air di masjid. Tapi gabungan amal usaha dari orang-orang ini yang sampai sekarang terus bertumbuh.

Kita semua saat ini belajar fiqih, di pesantren sampai perguruan tinggi, sesungguhnya kita mempelajari sejarah orang-orang ini. Setiap satu amal usaha, pengorbanan itulah yang menentukan umur dari amal usaha tersebut.

Jika kita ingin menulis sebuah buku, atau sebuah makalah sekalipun, lalu buku tersebut menembus waktu, menembus ruang, menembus pikiran, menembus hati, hal tersebut sangat ditentukan berapa banyak arti yang kita berikan pada kata-kata yang kita muat dalam tulisan tersebut. Begitu juga ketika kita berceramah, bekerja dan apapun namanya sebuah amal usaha.

Karenanya, makin banyak kita menerima hasil dari usaha kita, biasanya makin pendek umur dari usaha tersebut. Sebut saja, seseorang yang terlalu cepat popular, biasanya tak lama popularitasnya. Cepat kaya, biasanya tak lama kekayaannya mampu bertahan. Semua yang terlalu cepat, biasanya tak terlalu lama daya tahannya.

Sejarah nabi-nabi, adalah sejarah tentang kerja besar di tengah penderitaan besar. Terus seperti itu kisahnya. Jadi, ketika Umar bin Khattab mendapati semua peperangan yang diikutinya menang, semua rencana yang dirancangnya berhasil, kekayaan datang luar biasa banyaknya. Apa yang dipikirkan Umar bin Khattab ?

“Kalau ini adalah sebuah kebaikan, kenapa kebaikan ini tidak datang pada zaman Rasulullah atau Abu Bakar ? Kenapa ini datang di zaman saya ? Jangan-jangan Allah ingin memisahkan saya dengan kedua sahabat saya itu ?” Umar bertanya-tanya dalam hatinya. Sebab, ia tahu betul tentang takdir kerja besar dan derita besar yang ditanggung dua pendahulunya.

Pengorbanan adalah menguak rahasia tentang amal usaha yang terus bertumbuh dan tidak berhenti pertumbuhannya. Lewat pengorbanan, kita juga belajar tentang amal usaha yang berumur pendek dan berhenti di tengah jalan.

Jika kita mempelajari sejarah sebuah organisasi seperti Muhammadiyah, para pendiri awalnya, adalah orang-orang yang penuh dengan pengorbanan. Begitu juga dengan sejarah Nahdhatul Ulama (NU), sejarahnya dipenuhi dengan nama-nama yang penuh pengorbanan.

Hakikat dari pengorbanan adalah ujian, seyakin apa kita pada keyakinan yang kita yakini, sehingga melahirkan pengorbanan yang memang menjadi syarat kemenangan. Seberapa siap kita berkorban untuk hal-hal yang kita yakini dalam hidup ini ?

Ibnu Taimiyah, menulis ratusan buku selama hidupnya. Suatu kali, ia berkata pada dirinya sendiri. “Apa yang bisa dilakukan musuhku kepada diriku ? Kalau dia penjarakan saya, maka saya punya kesempatan berkhalwat dengan Allah swt. Kalau dia mengasingkan saya, buat saya itu adalah rekreasi mengagumi keindahan ciptaan Allah. Kalau dia membunuh saya, dia hanya akan mempercepat pertemuan saya dengan Sang Maha Kekasih.” Tidak ada matinya.

Cerita ini tidak selesai sampai di sini. Ketika orang-orang berpikir, bahwa pemimpin ideologi terbunuh maka akan terbunuh pula pemikirannya. Adalah salah besar. Sama sekali tidak begitu jalan ceritanya.

Cara belajar manusia sangatlah verbal dan bersifat visual. Allah tahu betul hal ini, karena Dia yang menciptakan manusia. Karena itu, di dalam Al Qur’an, meski cerita nabi-nabi itu dipenuhi dengan penderitaan yang besar, cerita selalu ditutup secara happy ending.

Mula-mula cerita tentang Nabi Nuh as. Begitu repot ia berdakwah, ke sana ke mari, tapi istrinya tak bisa ia ajak ke jalan yang benar. Begitu juga anak-anaknya. Bahkan sampai akhir, yang selamat hanya 12 orang. Tapi faktanya, semua musuh-musuhnya dibinasakan. Begitu juga dengan cerita Nabi Musa, dari upaya pembantaian ke istana Fir’aun. Begitu juga Nabi Yusuf, dari sumur yang dalam ke istana raja. Maka begitu juga dengan Nabi Muhammad saw.

Tapi ada satu cerita dalam Al Qur’an yang tidak happy ending. Dan itu adalah cerita tentang ashabul ukhdud. Dalam kisah ini, orang mukmin dibunuh dan cerita berakhir dengan begitu. Tidak jelas rajanya beriman atau tidak. Open ending.

Sayyid Quthb mengatakan dalam Fi Dzilalil Qur’an, bahwa cerita ini diceritakan Allah swt. dalam Al Qur’an diantara semua cerita tentang tokoh-tokoh kebenaran yang semuanya berakhir bahagia, agar orang-orang beiman mempunyai satu teladan. Bahwa sering kali pengorbanan itu berakhir saat umur mereka berakhir. Dan mereka tidak menyaksikannya sama sekali. Bahkan tidak juga untuk dievaluasi.

Hakikat memperjuangkan kebenaran adalah, kata Imam Ahmad bin Hambal, selama hati kita bersama kebenaran. Makna lain dari pengorbanan ini, tidak penting bagi kita menang atau kalah. Yang penting adalah supremasi kebenaran ketika kita kalah dan ketika kita menang, adalah sama.

Dan apa yang kita korbankan dalam semua proses itu. Apa kontribusi pengorbanan kita untuk proses kebenaran ? Itulah yang harus kita tanyakan berulang-ulang pada diri sendiri. Tapi kadang-kadang, kita memilih jalan yang semu. Kita lebih memilih untuk tidak berkorban dan menyimpan sesuatu demi rasa aman. Tapi sesungguhnya, bukan hal tersebut yang menjadikan rasa aman itu ada. Rasa aman itu justru lahir dan menjadi ada, ketika kita berani mengorbankan sesuatu untuk keyakinan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar